Mamuju, Minggu 18 Agustus 2019
Gurat Utopis Mata Hati
Muliadi, lelaki Kelahiran Loa Sakoh Kecamatan Kembang Janggut, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Setelah meminang Jumiati, dia menjadi warga Mamuju dan tinggal di Jalan IR Juanda Kelurahan Mamunyu.
Awalnya, hidup pasangan ini berlalu seadannya. Penuh kesederhanaan dan berjalan normal. Namun sejak insiden nahas menimpa Muliadi, Kamis 3 November 2016 silam. Hidupnya berubah drastis. Kaki kiri dan kedua lengannya tersengat listrik saat bekerja menjadi buruh bangunan di Jalan Andi Dai.
Demi menyelamatkan hidupnya, ia merelakan kedua tangannya diamputasi. Meskipun ia sadar kedua anggota tubuhnya tak lagi bisa kembali seperti sedia kala.
Tubuhnya yang dulu kekar, mimik wajah garang dan etos kerja yang kuat menjadi ciri khasnya, mencari nafkah untuk istri dan ketujuh anaknya yang masih belasan tahun.
Kini ia hanya mampu duduk dan terbaring lemah di bawah atap seng berkarat dan berlantai semen tanpa keramik. Di dalam rumah sepanjang tujuh meter dan lebar tiga meter tanpa sekat. Muliadi menahan pilu dan nyeri di tubuhnya. Tak hanya raga, ekonominya pun kian terjepit di atas lahan pinjaman.
Sejak saat itu, Mulyadi bagai setengah manusia. Aktifitasnya terbatas. Makan dan minum pun harus melalui tangan sang istri tercinta. Acap kali jika istrinya sibuk, putra sulungnya, Duta Setiawan yang baru beranjak 13 tahun yang menyuapi Muliadi.
"Bergerak saja, saya sangat kesulitan. Kalau mandi dan buang air dibantu istri," jawabnya lembut tak bertenaga.
Ia hanya pasrah dan menanti campur tangan tuhan dalam kondisinya yang tak sempurna. Belum lagi, selama keluarga kecil Mulyadi tertimpa bencana, pemerintah tak pernah menyalurkan secuil bantuan atau solusi kepada mereka. Bahkan demi melanjutkan hidup, istri Mulyadi lah bekerja sebagai tukang cuci di dalah satu rumah warga. Itu pun dalam sepekan hanya bekerja dua sampai tiga kali. Meski hanya berpenghasilan Rp 30 ribu per hari, mereka senang. Setidaknya mereka bisa menyambung hidup meski sehari saja.
"Upahnya memang kecil, namun setidaknya bisa menutupi rasa lapar. Meskipun kadang kami sulit penuhi kebutuhan," beber lelaki kelahiran 1975 itu.
Ketika sang istri bekerja, ia kadang merasa sakit hati, sebab tak bisa menjadi suami dan ayah yang baik. Mulyadi hanya berdiam diri bersama anak-anaknya di rumah, sembari memberikan saran kepada keturunannya untuk bersabar atas musibah yang menimpa.
"Jujur, saya kasihan dan merasa kecewa. Tapi yah beginilah hidup. Kami harus sabar atas cobaan ini," tegarnya.
Lilitan ekonomi itu berdampak pada pendidikan anaknya. Dari tujuh, hanya dua putra Muliadi yang melanjutkan pendidikan. Masing-masing Satrio (11) dan Muhammad Yusuf (10). Mereka tengah menimbah ilmu di SDI Binanga I, sebagai murid kelas VI dan II. Sementara , Siti Aisya (8), Muhammad Topan Ramadhan (7) tidak melanjutkan sekolah lantaran tak memiliki biaya.
"Annisa masih berumur empat tahun dan Alexa beranjak dua tahun. Tapi anak sulung saya berhenti sekolah di SMP. Kami tidak punya biaya untuk melanjutkan pendidikannya," beber Muliadi tak berdaya.
Muliadi tidak bisa mengetahui sampai kapan kondisi itu menggerogoti kehidupan keluarganya. Dia hanya berharap pemerintah bisa memberikan sedikit uluran tangan atas cekikan hidup yang dijalaninya. Paling tidak bisa meringankan beban hidup dalam jangka pendek. Itu pun jika tak menjadi beban dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Kami tidak tahu, apa kami bisa masuk kategori penerima bantuan seperti warga lain atau tidak pak. Namun kami sekeluarga tidak akan menolak jika menerima bantuan," imbuhnya dengan senyum tipis.