Minggu, 30 Agustus 2020

Risalah Rindu Yang Terlarang


Sumber Foto Internet

Kekasihku . . .
Masihkah ku berhak memanggilmu sayang
Pantaskah lirih rindu kembali kulafalkan 
Bersua menimang senja hingga terlelap 
Seperti dulu . . .
Sebelum cucu Adam meminangmu
Menyimpulmu dalam rapalan kalimat syahadat

Aku tahu angan itu tak mungkin lagi terjadi
Tetapi batin ini tak mampu menerima kemustahilan itu
Kenyataan jika bunga yang tumbuh dalam dekapku
Harus mekar dan berlabuh di dermaga baru

Apakah engkau tahu
Takdirmu menghujam ribuan luka dalam sukmaku
Merenggut jiwa dari tubuh rentaku
Kau pasung petaka dalam benakku
Hingga jemari ini menolak garis takdirku sendiri 

Tapi Kekasihku . . .
Meski kau lontarkan ratusan sajak penyesalan
Kau titip puluhan syair permaafan
Sakitku tak kunjung menua 
Setelah kau tikam aku dengan satire permakluman
Bergagang dusta dalam warangka kepalsuan

Tapi kekasihku . . . 
Hatiku terlalu larut memujamu
Kusemai luka itu di setiap nadiku
Kubasuh dalam telaga air mata
Lalu kutimang dalam buai sendandung para dewa
Hingga luka itu adalah aku

Lidahku terlalu kotor untuk menghujat
Hatiku terlampau busuk jika harus mengumpat
Aku memilih bersemayang dalam dimensimu
Menikmati fatamorgana malam pengantinmu

Lihatlah diriku yang derana
Meski dendam membara dalam dada
Tetesan darah mengalirkan amarah
Kebencian memuncak dalam tapak langkah
Ku hanya mampu terdiam tanpa nada
Menyulam sisa kenangan dalam napas yang temaram

Kini tubuhku lunglai tak berdaya
Terbujur kaku dalam gubuk yang hampa
Tertatih dalam jebakan luka yang berdendang
Mengecap surga meski harus tercincang
Tanpa kata dan isyarat asa
Bungkam dalam rindu yang terlarang

Teras Mamuju, 30 November 2019

Sabtu, 29 Agustus 2020

Cinta Rindu dan Berahi


https://pixabay.com/id/photos/jantung-tali-tergantung-cinta-1450300/


Cinta tipu muslihat para pujangga
Bilapun indah, segelintir di awal senja
Keranjinan lenyap tertatih pun menyapa
Luka sukma binasalah elok rupa

Rindu palung asih penyayat hati
Mengerumus sanubari takat merintih
Karam batin di kala sepi
Tetak waktu meratap perih

Berahi penjara nan sayu
Raga terpasung bualan rayu
Lucut mawar sisalah malu
Cinta semu berujung pilu

Cinta rindu dan berahi
Rias hayat si buta hati
Gelegar nafsu nyala berisi
Telaga dosa kian menanti


Senin, 19 Agustus 2019

Munajat Yang Tersamar

Sumber Foto : Internet


Mungkin aku lelah bercengkrama dengan tuhan hingga ku memilih berbaring di atas tilam sabi.
Bertalu-talu kupinta doa dalam sepucut surat, tetapi ajur sebelum membelai multazam. 
Senandung keagungan yang kupanjatkan pun terburai dalam arak kidung ilahi.
Apalah daya, sang hamba tak mungkin menuntut Tuhan
Apalagi harus menyulih tinta emas dalam untai lauh mahfuz.
Yah, barangkali Dia hanya menganggapku meracau. 
Bilapun tidak, mungkin aku hanya sebatas noktah di mata-Nya. 
Hanya mampu bercericau dan tak tahu menabik. 

Mamuju, Minggu 18 Agustus 2019

Selasa, 12 September 2017

Lenganku Lenyap, Demikian Tanggung Jawabku



Sepasang lengannya yang buntung seakan memangkas tanggung jawabanya sebagai tulang punggung keluarga.

Muliadi, lelaki Kelahiran Loa Sakoh Kecamatan Kembang Janggut, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Setelah meminang Jumiati, dia menjadi warga Mamuju dan tinggal di Jalan IR Juanda Kelurahan Mamunyu.

Awalnya, hidup pasangan ini berlalu seadannya. Penuh kesederhanaan dan berjalan normal. Namun sejak insiden nahas menimpa Muliadi, Kamis 3 November 2016 silam. Hidupnya berubah drastis. Kaki kiri dan kedua lengannya tersengat listrik saat bekerja menjadi buruh bangunan di Jalan Andi Dai.

Demi menyelamatkan hidupnya, ia merelakan kedua tangannya diamputasi. Meskipun ia sadar kedua anggota tubuhnya tak lagi bisa kembali seperti sedia kala.

Tubuhnya yang dulu kekar, mimik wajah garang dan etos kerja yang kuat menjadi ciri khasnya, mencari nafkah untuk istri dan ketujuh anaknya yang masih belasan tahun.

Kini ia hanya mampu duduk dan terbaring lemah di bawah atap seng berkarat dan berlantai semen tanpa keramik. Di dalam rumah sepanjang tujuh meter dan lebar tiga meter tanpa sekat. Muliadi menahan pilu dan nyeri di tubuhnya. Tak hanya raga, ekonominya pun kian terjepit di atas lahan pinjaman.

Sejak saat itu, Mulyadi bagai setengah manusia. Aktifitasnya terbatas. Makan dan minum pun harus melalui tangan sang istri tercinta. Acap kali jika istrinya sibuk, putra sulungnya, Duta Setiawan yang baru beranjak 13 tahun yang menyuapi Muliadi.

"Bergerak saja, saya sangat kesulitan. Kalau mandi dan buang air dibantu istri," jawabnya lembut tak bertenaga.

Ia hanya pasrah dan menanti campur tangan tuhan dalam kondisinya yang tak sempurna. Belum lagi, selama keluarga kecil Mulyadi tertimpa bencana, pemerintah tak pernah menyalurkan secuil bantuan atau solusi kepada mereka. Bahkan demi melanjutkan hidup, istri Mulyadi lah bekerja sebagai tukang cuci di dalah satu rumah warga. Itu pun dalam sepekan hanya bekerja dua sampai tiga kali. Meski hanya berpenghasilan Rp 30 ribu per hari, mereka senang. Setidaknya mereka bisa menyambung hidup meski sehari saja.

"Upahnya memang kecil, namun setidaknya bisa menutupi rasa lapar. Meskipun kadang kami sulit penuhi kebutuhan," beber lelaki kelahiran 1975 itu.

Ketika sang istri bekerja, ia kadang merasa sakit hati, sebab tak bisa menjadi suami dan ayah yang baik. Mulyadi hanya berdiam diri bersama anak-anaknya di rumah, sembari memberikan saran kepada keturunannya untuk bersabar atas musibah yang menimpa.

"Jujur, saya kasihan dan merasa kecewa. Tapi yah beginilah hidup. Kami harus sabar atas cobaan ini," tegarnya.

Lilitan ekonomi itu berdampak pada pendidikan anaknya. Dari tujuh, hanya dua putra Muliadi yang melanjutkan pendidikan. Masing-masing Satrio (11) dan Muhammad Yusuf (10). Mereka tengah menimbah ilmu di SDI Binanga I, sebagai murid kelas VI dan II. Sementara , Siti Aisya (8), Muhammad Topan Ramadhan (7) tidak melanjutkan sekolah lantaran tak memiliki biaya.

"Annisa masih berumur empat tahun dan Alexa beranjak dua tahun. Tapi anak sulung saya berhenti sekolah di SMP. Kami tidak punya biaya untuk melanjutkan pendidikannya," beber Muliadi tak berdaya.

Muliadi tidak bisa mengetahui sampai kapan kondisi itu menggerogoti kehidupan keluarganya. Dia hanya berharap pemerintah bisa memberikan sedikit uluran tangan atas cekikan hidup yang dijalaninya. Paling tidak bisa meringankan beban hidup dalam jangka pendek. Itu pun jika tak menjadi beban dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

"Kami tidak tahu, apa kami bisa masuk kategori penerima bantuan seperti warga lain atau tidak pak. Namun kami sekeluarga tidak akan menolak jika menerima bantuan," imbuhnya dengan senyum tipis. 

Kamis, 13 Juli 2017

Dua Kerjaan Menyatu Dalam Sebilah Keris


Demikian benda pusaka yang ada di Kerajaan Mamuju. Pusaka itu berupa keris dan diberi nama Manurung. Merujuk riwayat kerajaan Mamuju yang disampaikan dalam laporan panitia dalam upacara adat, konon keris ini merupakan tonggak awal terciptanya pertalian darah antara Kerajaan Mamuju dan Bali pada tahun 1550, silam.

Kala itu Putra Raja Mamuju, Pattolawali mempersunting putri Badung dari Bali. Buah pernikahan mereka pun terlahir seorang anak kembar, Lasalaga dan sebilah keris tanpa lekukan sepanjang sekira 30 sentimeter (cm). Berbeda dengan proses penciptaan keris pada umumnya yang ditempa, keris itu pun lantas diberi nama Manurung atau digelar Maradika Tammakkanakana.

Selain historis, keris itu juga memiliki kesaktian yang luar biasa.Dijelaskan Maradika Mamuju, Andi Maksum Dai, dahulu kala keris itu digunakan untuk menyuburkan tanaman, penolak bala dan meredam ombak tinggi menjadi tenang. Bahkan jika terdapat angin puting beliung yang menimpa kerajaan Mamuju, keris tersebut digunakan untuk memotong pusaran angin tersebut agar hilang. Begitu juga saat Maradika terdahulu sedang melakukan perjalanan dan membawa keris Manurung. Di sepanjangan jalan, semua mahluk hidup yang lintasinya akan tunduk kepadanya

"Itulah kenapa keris Manurung digelar sebagai Maradika Tammakkanakana" ucap Andi Maksum takjub.

Kekayaan inilah yang mendasari kedua kerjaan ini beraduk setiap dua tahun sekali untuk melaksanakan ritual adat Massossor Manurung atau pencucian keris pusaka Manurung yang dirangkaikan HUT Mamuju. Meski dengan ritual berbeda, namun tujuannya sama menjaga dan melestarikan budaya leluhur.

"Ini adalah peninggalan budaya kita yang senantiasa kita jaga untuk menghormati budaya leluhur yang telah ditinggalkan," jelasnya.

Dalam ritual Mamuju, keris tersebut di bersihkan memakai jeruk lalu dimandikan dengan air rendaman kembang tujuh rupa dan tongkol buah kelapa. Sementara ritual adat Bali, Manurung itu dilaksanakan dengan bergamam sesajen dan tari-tarian.

Pemuka agama Hindu Bali, IPDA Wayan Suparda mengatakan, perayaan ini adalah sebuat ritual bersama sebagai bukti kepada sang leluhur yang telah mewariskan budaya yang sangat disakralkan. Olehnya harus dilaksanakan dengan upacara adat dan memberikan persembahan sesajen bagi melalui tarian sakral rejang dan tari penyambutan.

"Pusaka ini sakral. Olehnya pencuciannya pun harus dilaksanakan sesuai ritual sakral adat Bali sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur," ucap Suparda.

Tampaknya, ritual adat Massossor Manurung sudah merebak secara nasional. Ketua Harian Forum Silaturrahmi Keraton Nusantara, Andi Kumala Ijo Karaeng Lembang Parang berencana akan melangsungkan rapat kerja nasional untuk membahas adat di Indonesia. Bahkan di dalam pertemuan itu akan diwarnai pertunjukkan seni dan budaya se-Sulbar. Termasuk ritual adat Massossor Manurung. Rencananya ritual adat tersebut akan mewarnai pertemuan para raja di Indonesia.

"Tahun depan rencananya kami rapat di Mamuju, dan ini tidak terlepas dari peran serta raja Mamuju dan pemerintah yang ikut berkontribus di dalamnya," imbuhnya.